Pelayaran Hongi adalah sebuah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, yang mana melibatkan serangkaian pengawasan dan penindasan terhadap wilayah-wilayah di Nusantara yang menentang kekuasaan mereka. Dalam konteks sejarah Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, pelayaran Hongi merupakan salah satu simbol dari penjajahan Belanda yang keras dan ketidaksetujuan beberapa pemimpin Nusantara, seperti Sultan Hasanuddin. Dalam artikel ini, kita akan mempelajari apa yang dimaksud dengan pelayaran Hongi serta mengapa Sultan Hasanuddin menentang pelayaran Hongi.
Pelayaran Hongi: Pengertian dan Latar Belakang
Pelayaran Hongi (dari bahasa Melayu “Heni” atau perahu cepat) adalah tindakan pemerintah kolonial Belanda yang menggunakan kapal-kapal militer mereka untuk secara rutin berpatroli dan mengendalikan perairan di sekitar kepulauan Nusantara. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menjaga monopoli perdagangan di bawah kendali VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur, dan menegakkan sistem ekonomi yang menguntungkan Belanda.
Salah satu bentuk pelayaran Hongi adalah pencarian dan penghancuran nelayan dan pedagang lokal yang tidak memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pelayaran Hongi juga digunakan sebagai sarana penindasan dan pemaksaan terhadap wilayah-wilayah yang menentang kebijakan Belanda, termasuk pencaplokan terhadap produk-produk lokal.
Sultan Hasanuddin: Pemimpin dan Pejuang
Sultan Hasanuddin, yang secara lokal dikenal sebagai “Raja Gowa”, adalah Sultan Makassar yang memerintah pada periode 1653-1669. Dia masih muda ketika naik takhta dan langsung mewarisi perjuangan ayahanda dan kakeknya untuk melawan dominasi Belanda. Melalui kebijaksanaannya, ia berhasil membangun aliansi dengan berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Kerajaan Bone dan Ternate, serta beberapa kerajaan lain yang juga menentang kebijakan VOC.
Mengapa Sultan Hasanuddin menentang pelayaran Hongi? Alasan utama adalah karena ia melihat perjuangan rakyatnya yang menderita akibat penindasan yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut. Kehidupan nelayan dan pedagang lokal sangat terpengaruh oleh sistem monopoli Belanda, yang menyebabkan masyarakat kian miskin daesar penaklukkan terhadap sumber daya alam lokal. Selain itu, Sultan Hasanuddin didorong oleh tekad untuk mempertahankan kehormatan, kedaulatan, dan kemerdekaan kerajaannya.
Perlawanan Sultan Hasanuddin terhadap Pelayaran Hongi
Memahami bahwa pelayaran Hongi adalah ancaman yang nyata bagi keutuhan wilayah dan kesejahteraan rakyatnya, Sultan Hasanuddin kemudian melancarkan serangkaian perlawanan bersama sekutu-sekutunya. Perlawanannya terhadap pelayaran Hongi dan Kebijakan baru Belanda termasuk menggagalkan ekspedisi ekonomi Belanda dan mengorganisir pasukan yang menyerang fasilitas-fasilitas Belanda di berbagai wilayah.
Sayangnya, meskipun Sultan Hasanuddin berhasil menghalau Belanda dalam beberapa pertempuran, perlawanan ini akhirnya terseok tredapat upaya Belanda yang tak henti-hentinya. Di 1667, Belanda berhasil mengalahkan Makassar, dan Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya yang mengakhiri perlawanan dan tunduk pada dominasi Belanda.
Kesimpulan
Pelayaran Hongi merupakan kebijakan brutal dan penindasan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengendalikan perairan dan perdagangan di Nusantara. Sultan Hasanuddin, sebagai pemimpin yang bijaksana, melihat dampak negatif dari pelayaran Hongi terhadap rakyatnya dan memutuskan untuk melawan. Perjuangannya kemudian menjadi simbol dari tekad dan semangat bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan dan mencapai kemerdekaan.