Proses penyelesaian peristiwa gerakan DI/TII di Aceh memang menjadi unik dan menonjol dibandingkan penyelesaian kasus serupa di daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Keistimewaan penyelesaian DI/TII di Aceh terletak pada sejumlah aspek yang meliputi sejarah, politik, budaya, hingga penyelesaian konflik.
Pertama, latar belakang konflik berakar pada sejarah dan budaya yang khas Aceh. Aceh memiliki sejarah sebagai negara independen sebelum akhirnya menjadi bagian dari Indonesia. Konflik yang terjadi juga seringkali berangkat dari perbedaan pandangan terkait hukum Islam dan praktiknya di masyarakat setempat. Sementara itu, insiden-insiden serupa di Jawa dan Sulawesi cenderung bermula dari kondisi agraris dan hubungan antar desa yang saling bersaing.
Kedua, politik penyelesaian konflik di Aceh unik karena melibatkan negara asing sebagai mediator. Proses perdamaian Aceh mendapat fasilitasi dari pihak asing, yakni Martti Ahtisaari dari Finlandia yang membantu menyelenggarakan dialog antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki. Sementara itu, konflik di daerah lain biasanya diselesaikan secara domestik oleh pemerintah pusat Indonesia.
Ketiga, Aceh menjalani proses demokratisasi dan desentralisasi yang lebih dalam dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Hal ini sejalan dengan penandatanganan MoU Helsinki yang antara lain memberikan hak kepada Aceh untuk membentuk partai lokal – suatu hak yang tidak dimiliki provinsi lain di Indonesia.
Keempat, Aceh berhasil mempertahankan identitas budaya dan keagamaan uniknya meskipun menghadapi konflik berkepanjangan. Sementara daerah lain seperti Kalimantan dan Sulawesi mengalami perubahan yang lebih mendasar dalam struktur sosial dan budaya mereka akibat peristiwa DI/TII.
Penyelesaian konflik di Aceh menunjukkan kemungkinan untuk menemukan solusi perdamaian yang berkepanjangan meskipun dalam kondisi konflik yang rumit dan berlarut-larut. Pada akhirnya, setiap proses penyelesaian konflik tentu harus disesuaikan dengan konteks sejarah, budaya, dan politik setempat. Dalam hal ini, Aceh memberikan contoh penting bahwa melalui dialog dan pengakuan terhadap identitas dan hak-hak lokal, perdamaian berkelanjutan dapat dicapai.