Salah satu strategi kolonialis Belanda dalam menghadapi perlawanan kedaerahan adalah dengan memanfaatkan bangsa Indonesia sendiri sebagai bagian dari sistem pemerintahan dan militer mereka. Secara umum, strategi ini melibatkan pendekatan yang lebih inklusif dan kooperatif dalam mengelola koloni, dengan tujuan mengurangi perlawanan dan memperoleh keuntungan ekonomi sekaligus mempertahankan kontrol politik.
Pertama, Belanda memanfaatkan kebijakan “Pax Neerlandica” yang bertujuan untuk mengurangi konflik antara kelompok-kelompok lokal Indonesia dan menciptakan stabilitas di wilayah yang mereka kuasai. Kebijakan ini melibatkan pengakuan terhadap struktur kepemimpinan tradisional dan hak istimewa para pemimpin daerah sebagai mitra politik. Dengan melakukan ini, Belanda dapat memenangkan dukungan dari elit lokal dan menghadirkan gambaran bahwa mereka bukan penjajah yang mencoba menggulingkan sistem politik tradisional.
Salah satu contoh konkrit adalah sistem “Bupati” yang diterapkan di Jawa, di mana para pemimpin lokal diberi wewenang pemerintahan dan kekuasaan atas populasi lokal. Para Bupati ini kemudian diharapkan bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan kolonial. Hal ini memungkinkan Belanda untuk mempertahankan kendali politik yang efektif tanpa menghadapi perlawanan yang signifikan dari rakyat Jawa.
Selain itu, Belanda juga menggunakan penduduk setempat sebagai bagian dari angkatan bersenjata mereka. Mereka melibatkan orang Indonesia dalam militer kolonial dengan membentuk unit-unit seperti “Barisan” yang terdiri dari prajurit-prajurit pribumi. Unit-unit ini kemudian digunakan untuk membantu mempertahankan kendali Belanda atas koloni dan membasmi pemberontakan yang muncul.
Belanda juga mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis dalam menghadapi perlawanan kedaerahan dengan mengadakan negosiasi dan mencoba mencapai kesepakatan dengan kelompok yang memberontak. Sebagai contoh, pada awal abad ke-20, Belanda berhasil melakukan negosiasi dengan Sultan Aceh walaupun sempat terjadi perang Aceh selama beberapa puluh tahun. Kesepakatan ini, yang melibatkan pemberian status otonomi dalam beberapa masalah, membantu mengakhiri konflik dan memungkinkan Belanda untuk memfokuskan sumber daya mereka pada upaya penaklukan dan kebijakan-kebijakan kolonial lainnya.
Selanjutnya, pendidikan merupakan komponen penting dari strategi kolonial Belanda. Mereka mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan yang bertujuan untuk melatih orang Indonesia dalam menggunakan bahasa Belanda, ajaran Kristen, dan ilmu pengetahuan Barat. Tujuannya adalah untuk menciptakan generasi baru dari birokrat, pedagang, dan pemimpin lokal yang dapat bekerja sama dengan pemerintah kolonial dan memperkuat posisi Belanda di Indonesia. Namun, kebijakan pendidikan ini secara tidak langsung juga menyebabkan terbentuknya kesadaran nasionalisme yang akhirnya berujung pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun beberapa dari strategi kolonialis Belanda ini efektif dalam menghadapi perlawanan kedaerahan dan mempertahankan kendali politik, perlu dicatat bahwa strategi ini juga menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Penguasaan lahan oleh Belanda dan sistem tanam paksa membuat banyak petani Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.